Di artikel seri ketiga Mengubah Pola Pikir Kepengawasan Sekolah Di Era Merdeka Belajar ini, kita memfokuskan pembahasan pada aspek penguatan tanggungjawab sekolah. Aspek terpentingnya adalah penguatan peran, tugas dan fungsi guru sebagai pendidik di sekolah. Karena aspek ini yang paling menentukan bagi sekolah untuk menjadikan siswa yang merdeka belajar. Pertanyaannya adalah bagaimana pengawas sekolah mendampingi guru-guru yang sulit untuk berubah di era merdeka belajar saat ini? Pada beberapa bagian dari artikel ini, saya mengambil dari implikasi atas riset dan pengembangan praktek baik saya tahun 2019-2020, yang juga sudah saya presentasikan secara virtual di Forum Ilmiah Kepengawasan Sekolah/Madrasah VII di Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia (APSI) (Yuli Cahyono, 2020).

Salah satu kelemahan kita, yang mungkin saja terjadi, untuk mewujudkan siswa yang merdeka belajar, bisa saja berasal dari guru sendiri, khususnya pada guru-guru yang sulit untuk berubah (try hard teachers). Orang yang sulit berubah berpandangan bahwa semua dalam kehidupan ini sulit dan oleh karena itu mereka berjuang dengan apapun caranya. Mereka bermuka masam dan bercerita kalau mereka sudah berjuang dengan sekuat tenaga dan akhirnya mereka gagal. Mereka tidak melihat adanya ruang untuk bermain dan menjadi kreatif dan imajinatif, dan lalu berpandangan bahwa semua itu dilarang. Mereka tidak melihat bahwa kesalahan itu pintu untuk belajar dan akhirnya menjadi seperti sebuah karakter yang tidak lagi bisa diperbaiki. Mereka menjadi sulit untuk belajar sesuatu yang baru karena kurang pengetahuan untuk mengubah karakter itu. Tantangan bagi para pengawas sekolah untuk mengubah sekolah adalah bagaimana menghadapi orang yang sulit berubah seperti ini.

Pertama, pengawas sekolah perlu mengenalkan beberapa prinsip pembelajaran modern di sekolah, bukan hanya kepada guru saja, tetapi juga kepada kepala sekolah dan tenaga kependidikan di sekolah binaannya. Beberapa prinsip pembelajaran modern yang penting untuk diterapkan di sekolah, antara lain 1) Prinsip pertumbuhan (growth mindset); 2) Prinsip Pisang (Banana Principles), 3) Prinsip Komunitas Praktek (Community of practice), 4) Prinsip Perbaikan Berulang (Iterative improvement), dan 5) Penguatan Coaching/Mentoring (Yuli Cahyono, 2020).

Kedua, menguatkan peran coaching dan mentoring pada pelaksanaan supervisi akademik dan manajerial di sekolah. Pengawas sekolah perlu membudayakan coaching dan mentoring di sekolah. Pengawas sekolah mengcoach kepala sekolah. Atau pengawas sekolah mengcoach guru. Atau pengawas sekolah mengcoach tenaga kependidikan. Itu sudah biasa karena itu sudah menjadi tugas dan fungsinya sebagai pengawas sekolah. Namun yang kita ingin wujudkan ke depan adalah sebuah budaya coaching dan mentoring yang baru, yakni di antara para pengawas sekolah, para kepala sekolah, para guru dan para tenaga kependidikan, serta para orang tua, para tokoh masyarakat, para pengusaha dari institusi pasangan (khusus di SMK), meraka saling mengcoach dan mentoring satu sama lain. Sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing.  Coaching dan mentoring baru bisa disebut sebagai sebuah budaya, kalau perilaku coaching dan mentoring ini sudah dilakukan dan menjadi kegiatan sehari-hari di sekolah. Jadi di setiap waktu, di setiap saat tanpa harus ada kalender atau jadwal, semua saling mengacoach dan mentoring satu sama lain. Bahkan di antara kelompok kerja di satu sekolah bisa saling mengcoach dan mentoring satu sama lain. Siapa yang dianggap lebih bisa, lebih tahu, lebih berpengalaman, siapa yang lebih ahli atau lebih jago dalam mengerjakan sesuatu maka dia yang menjadi coach dan mentor bagi yang lain.

Praktek Baik penerapan coaching dan mentoring yang pernah dilakukan oleh LPPKSPS, ada di dalam diklat calon kepala sekolah (PP-CKS) antara tahun 2010-2020 (LPPKS, 2017). Pada kegiatan On The Job Learning (OJL), kegiatan coaching dan mentoring lebih dikenal sebagai metode NYANTRIK atau SHADOWINGTestimoni dari beberapa peserta diklat terbelah. Sebagian sangat menyukai metode ini, namun sebagian peserta yang lain memang bermasalah karena tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang apa dan bagaimana menjalankan pembelajaran dengan metode ini. Metode ini memang berupa tatap muka untuk wawancara, bertukar pikiran, ngobrol, berdiskusi, bercakap-cakap, berkomunikasi, bersilaturahmi antara kepala sekolah yang lebih berpengalaman sebagai mentor-nya dan peserta diklat calon kepala sekolah sebagai mentee-nya. Bagi yang tidak terbiasa dengan cara belajar ala pondok pesantren, santri sowan ke kyai, seperti ini, memang merasa nggak nyaman.

Dalam praktek baik saya di SMAN 1 Tenjolaya juga menunjukan bukti pengalaman yang sama. Coaching dan mentoring berperan penting bagi kepala sekolah untuk membantu guru mengobservasi dinamika atau hal-hal apa saja yang terjadi selama program kegiatan pendidikan dan pembelajaran siswa di sekolah berlangsung. Secara khusus Coaching dan Mentoring efektif untuk membantu menumbuhkan profesionalisme kepala sekolah dan guru secara personal, baik pada aspek teoritis maupun praktis dalam pengambilan keputusan, baik secara personal, secara kelompok maupun untuk kepentingan bersama di sekolah. Contohnya dalam pelaksanaan pengembangan kewirausahaan sekolah, coaching dan mentoring sangat efektif dilakukan untuk menghindari salah interpretasi terhadap konsep Desain Berpikir (Design Thinking) diantara para guru. Coaching dan mentoring juga diperlukan di tahap pelaksanaan kegiatan, khususnya untuk menghindari ketidaktelitian, pengabaian prinsip belajar, kekhilafan pada saat bertindak, dan adanya kejadian tak terduga yang pasti terjadi berupa kesulitan dan hambatan dan pemecahannya.

Coaching dan mentoring, di dalam praktek baik itu juga berperan penting. Khususnya bagi saya sendiri sebagai widyaiswara pendamping kepala sekolah SMAN 1 Tenjolaya. Coaching dan mentoring saya gunakan untuk mendorong peningkatan aktifitas belajar jarak jauh dan kinerja kepala sekolah. Di saat yang lain, kepala sekolah SMAN 1 Tenjolaya juga melakukan coaching dan mentoring kepada guru, siswa dan orang tua serta tokoh masyarakat berdasarkan kebutuhan peningkatan kesadaran diri dan akuntabilitas diri masing-masing pihak. Memang kebanyakan aktifitas coaching dan mentoring masih didasarkan atas terjadinya permasalahan. Pada saat tidak terjadi permasalahan coaching dan mentoring lebih sedikit frekuensi penggunaannya. Coaching dan mentoring dirancang untuk beberapa area berikut, yakni target settingproses monitoring, pencapaian tujuan dan review kegiatan, pengembangan staff, pengembangan dan pembelajaran tim, proses pemecahan masalah, dan perilaku dan kinerja akademik siswa. Model Coaching yang digunakan oleh kepala sekolah di praktek baik itu adalah GROW ME (Ng Pak Tee, 2005).

Sedangkan untuk peningkatan kinerja kepala sekolah dan guru, coaching yang saya gunakan adalah Co-Active Coaching dari Henry Kemsey House et allCo-Active Coaching bekerja pada ranah keterhubungan (coaching relationship).  Pada Co-Active Coaching widyaiswara, kepala sekolah dan guru bekerja bersama sama, dalam satu aliansi, untuk kepentingan sekolah, kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua. Bentuk kegiatannya seperti tatap muka, wawancara, dialog, ngobrol, baik secara formal maupun non formal, di ruangan kelas, di halaman sekolah, di kebun, di tempat wisata dan dimanapun pada saat mengerjakan kegiatan sehari-hari di sekolah maupun di luar sekolah.

Namun demikian, kegiatan Co-Active Coaching dirasakan lebih efektif dilakukan oleh kepala sekolah kepada guru dan siswa karena frekuensi pertemuan lebih banyak oleh kepala sekolah. Jadi Co-Active Coaching merupakan sebuah percakapan yang mendalam yang mampu menyentuh sisi personal dari setiap orang. Co-Active Coaching digunakan tepat untuk membantu kepala sekolah, guru dan siswa dalam memecahkan masalah yang bersumber dari dalam diri sendiri, misalnya masalah keluarga atau masalah keuangan atau masalah sosial yang mempengaruhi peningkatan kinerja kepala sekolah, guru dan siswa selama pelaksanaan program ( Henry Kimsey-House, Karen Kimsey )

Sebagai penutup, saya mengajak para pengawas sekolah di semua jenjang pendidikan, untuk membudayakan coaching dan mentoring di sekolah binaannya masing masing. Coaching dan mentoring perlu dimasukan di dalam program kepengawasan di sekolah di setiap semester, khususnya untuk program supervisi di sekolah, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial. Dengan pembudayaan coaching dan mentoring di sekolah binaan, maka kita berharap adanya peningkatan kualitas pembelajaran guru di sekolah. Segala kesulitan, tantangan dan hambatan guru dalam mewujudkan siswa merdeka belajar bisa dibantu dan diatasi oleh pengawas sekolah secara “agile” cepat tepat dan tangkas. Guru yang kuat membantu peningkatan tanggungjawab sekolah di mata siswa, orang tua, dan masyarakat.

 

Kebijakan
Kemdikbud. 2020. Panduan Merdeka Belajar- Kampus Merdeka. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kemdikbud. 2015. Buku Kerja Pengawas Sekolah. BPSDMP, Kemdikbud, Jakarta
LPPKS, 2017. Petunjuk Teknis Pelaksanaan On the Job Learning (OJL). Kemdikbud, LPPKS, Karanganyar, Jawa Tengah

Referensi
Ng Pak Tee, 2005, Grow Me: Coaching For Schools, Prentice Hall, Pearson Education South Asia Pte Ltd, 23-25 First Lok Yang Road, Jurong, 629733 Singapore
Henry Kimsey-House, Karen Kimsey House, Phillip Sandahl, Luara Whitworth, 2018, Co-Active Coaching, John Murray Press Ltd, Carmelite House, 50 Victoria Embankment, London EC4Y 0DZ
Rivolan PH, Nazarudin, Yuli Cahyono. 2020. GROW ME. Aqeela Cipta Media. Sukoharjo. Jawa Tengah. 081328823475.

Best Practice
Yuli Cahyono. 2020. Best Practice: Meningkatkan potensi kepemimpinan dan kompetensi kepala sekolah melalui pendampingan penerapan Teori U dalam pelaksanaan program pengembangan kewirausahaan di SMA Negeri 1 Tenjolaya Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. LPPKSPS, Karanganyar, Jawa Tengah. 081328823475.